Di toko buku itu aku tersesat dalam sebuah lukisan shunga. Bunga-bunga bermekaran di musim semi, seakan membawaku kembali ke zaman Edo bersama dua belas lembar shunkyū-higi-ga.
Bukankah tak ada suatu kebetulan apapun di dunia ini? Aku seorang perempuan pengembara yang kesepian, berdiri telanjang di depan seorang laki-laki asing. Begitulah aku membayangkan diriku sendiri.
'Apa yang engkau cari? ' Semestinya aku tidak bertanya. Tatapan mata yang lembut dan juga garang. Kulit yang lebih pucat dari semburat matahari. Wajah yang keras dan potongan rambut model kuno yang mengingatkanku pada aktor Yasuaki Kurata. Apakah ia tertawan padaku atau justru sebaliknya?
Mengapa aku tak mampu membaca pikirannya? Apakah ia sanggup membaca pikiranku? Demikianlah, kami terperangkap di dalam ruang yang sempit itu. Seperti saling menakar perasaan masing-masing dengan sebilah pedang samurai terhunus.
Dalam redup lampu merah remang-remang itu ia menenggelamkan diriku pada perasaan ganjil yang tak aku mengerti. Seperti gelegak keinginan untuk melampaui batasku sendiri. Hasrat-hasrat gila, kemabukan paling romantis dan barangkali juga cinta atau entah apa namanya.
Aku ingin tinggal dan mati di situ, menyatu atau mungkin membusuk bersama waktu. Ketika semuanya telah menjadi kekosongan yang dalam dan kehampaan yang tiada bertepi. Aku hanya ingin tersesat dan tersesat sekali lagi. Bersama seorang laki-laki asing dan 12 lembar pemandangan mesum di musim semi.
This poem has not been translated into any other language yet.
I would like to translate this poem