Apakah aku akan melupakanmu, sebelum tuntas engkau memata-matai rembulan? Betapa sulitnya menyusun kata-kata untuk menggambarkan dirimu yang sebenarnya.
Bila hidup adalah mimpi, maka kantuk adalah hantu yang bergentayangan. Seberapa lama kita sanggup bertahan dari godaannya?
Padang itu seperti laut pasang, kapal-kapal saling menjauh. Bintang-bintang berjatuhan dari pusat edarnya. Aku tak pernah melihat malam sekejam dan sekelam itu.
Ilalang setinggi perut mengaburkan bayang kematian yang datang menjemput. Apa yang lebih menakutkan dari kehilangan cinta? Di mana dapat kutemukan cinta, di tengah lanskap sesunyi ini?
Kau masuk ke rumah tak berpenghuni, memecahkan kaca jendela seperti pencuri. Menebarkan ruap beracun ke mana-mana, di atas meja, di dalam almari, di balik selimut di malam hari. Membiarkannya menguap menunggu pagi. Bagaimana kematian mengelabui dirimu sekali lagi?
Tak ada biara, tak ada huma di atas perbukitan itu. Bahkan pekuburan yang dulu engkau kenali di mana jasad kekasihmu disemayamkan telah tak ada lagi.
Tinggal onggokan daun-daun kering, rumput yang lebih tinggi dari kepalamu dan mayat saudara perempuanmu yang mati tercekik tinggal tulang belulang.
Bocah kecil yang kau besarkan sendiri dengan sepenuh hati, hilang direnggut maut. Tapi benarkah, realitas tak lebih dari ilusi. Dan fatamorgana adalah nafas hidup kita sehari-hari.
Tak kita temukan kebenaran di jalan menuju pulang. Karena pada akhirnya, kita hanyalah obyek dari kedunguan dan kebebalan diri sendiri.
This poem has not been translated into any other language yet.
I would like to translate this poem