Aku tahu, engkau tak sedang ingin berbagi dengan cermin yang telah kaupecahkan itu.
Ada luka yang sengaja kau torehkan pada sudut bibirmu dan kedua bola matamu agar cahaya tak membuatmu buta. Aku hanya bisa menduga-duga, entah sudah berapa lama kau mulai membenci matahari?
Aku juga tahu, engkau tak ingin diganggu dengan segala ocehan-ocehan nyinyir yang cuma akan menyakitkan gendang telingamu. Sudah lama pula kutahu, bila engkau membenci hujan dengan suara berisik yang dibuatnya.
Yang tak yakin aku ketahui adalah, barangkali tak ada yang kaucintai di dunia ini selain dirimu sendiri. Sekalipun mungkin, kau tak menyadari bila perasaan-perasaan yang sering kausembunyikan dariku itu jauh lebih menyakitkan dari pikiran bahwa waktu seakan tak pernah hadir di antara kita.
Entah karena engkau memang tak menganggap diriku ada. Atau mungkin karena, aku hanyalah orang asing yang sekejap singgah dalam kamar kesendirianmu yang senantiasa terkunci itu.
Aku cuma bisa mengintip dari sebuah lubang kecil di pintu hanya untuk mengetahui, bahwa engkau masih ada di dalam sana dan tidak sedang melukai dirimu sendiri.
Namun, hanya dari jendela layar ponselmu yang masih berdetak itu sajalah aku bisa merasakan kesepianmu. Bukan sebagai seorang remaja yang sudah lama tak kukenal lagi, melainkan sebagai bayi yang dulu aku kandung dan susah-payah aku lahirkan.
Sekiranya saja kau tahu, bagaimana sesungguhnya perasaan seorang ibu? Seandainya saja kau tahu, betapa aku hanya ingin menyapamu walau sekadar untuk menanyakan:
apa kabarmu, hari ini?
This poem has not been translated into any other language yet.
I would like to translate this poem