Kauikat kedua tanganku pada simbol warna biru tato naga itu. Apakah telah kaucuri rahasiaku yang paling dalam, sehingga engkau bisa menyelam jauh ke dasarnya?
Jangan kau pecahkan gelas itu! Biar kusesap dulu nektar manis madu itu dengan lidahku. Dahaga yang selama berabad-abad telah menghantuiku dengan trauma masa lalu. Apakah engkau telah melihat wajahku yang sesungguhnya?
Pada temaram ungu bayang-bayangmu aku menemukan kekuatan, keberanian dan kelembutan. Serupa akar liat merambat pada lenganmu yang berbulu atau telanjang dadamu yang menaungi diriku dengan perasaan yang tak terlukiskan.
Ijinkan aku menyadap merah getah dari tegas lekuk bibirmu atau biarkan aku menetak batang lehermu yang sekeras pokok Misutirutein itu. Lalu ijinkan aku mengikatkan shimenawa tali simpul keramat ini demi untuk menghormatimu, agar tak kaukutuk aku dengan mantra sucimu.
Sebab aku ingin sembunyi selamanya di dalam lembayung biji matamu. Sekiranya engkau adalah penjelmaan ruh pohon yang tumbuh di tengah hutan yang hadir dalam mimpiku. Bukankah engkau adalah kodama yang tengah jatuh cinta?
Bola cahaya redup di kejauhan. Lukisan lembut pegunungan dan rimbun hijau dedaunan di rimba raya. Wajahmu serupa samar bayang-bayang. Datang seperti kabut di senja hari dan pergi seperti cahaya lilin yang pudar saat pagi menjelang. Namun mengapa, tajam teluh matamu masih juga sedingin pisau sang penjagal?
This poem has not been translated into any other language yet.
I would like to translate this poem