Tiris kalbu mengais suatu kesedihan
Bayi-bayi mengais suatu rejeki
Ibunda dan ayahanda mereka melepasnya karena terikat suatu substansi kehidupan
Mereka yang hanya bisa merangkak memainkan dawai keindahan sesaat
Terpaksa mereka merejang suatu materi demi suatu kaleng susu, ataupun kemeja sekolah yang longgar
Sebenarnya dimana ayahanda—ibunda mereka, apakah keduanya sedang asyik bercengkrama di rumah kontrakan elegan dengan mengesampingkan ego yang tertempel di jidat
Ataukah memang mereka yatim-piatu yang tak mengenal kasih sayang kedua orang tua, dan terpaksa menjelma menjadi suatu penyakit di jalanan
Pada saat siang benderang yang dikelilingi oleh kepulan asap kesedihan menyayat, mereka mencoba tuk menerjang kesombongan para supir dan kondektur
Bayi mengajarkan kepada kakek-nenek renta bagaimana harus bersikap manusiawi
Bayi jalanan dengan suara parau yang terkesan mencari sesuap bubur ayam dengan melanglang buana ke sebuah negeri sumbangan
Sang pengasuh berbusana kerdil dengan copel dan gesper yang mengusung suatu penjara, penjara kebangsatan dan memberikan popok kekalutan
Torehan keringat, daki kandas, kulit yang busik menjadi kesan bagi bayi gurita tersebut, kakinya yang banyak dapat menerjang bus-bus dan angkot.
Rincingan receh untuk mengais survival mereka
Marka jalan hanya bisa menjadi saksi menangisi kehidupan bayi itu.
Halte, Samping Walikota Jakarta Barat sebelah Kampus terkemuka disana,12 Juli 2004
© Ayatullah Nurjati @PoemHunter.com
This poem has not been translated into any other language yet.
I would like to translate this poem