Masih ada rumah lain di tengah hutan yang bukan milikmu. Ia masih serupa misteri yang sengaja engkau sembunyikan. Mata buta, telinga tuli.
Demikianlah hidup, ia tetaplah teka-teki yang tak terselami hingga lembar terakhir menjelang kematian.
Kudapati engkau duduk berdua di beranda. Sedang bercakap dengan diri sendiri atau entah dengan siapa. Memperdebatkan hal-hal asing yang tak perlu. Mengupas kulit filsafat atau inti agama yang tak pernah engkau yakini kesahihannya.
Kebenaran tak ada di dalam pikiran-pikiran kosong yang tak menyadari kedunguannya sendiri. Bagimu ia tak lebih dari fatamorgana.
Ia bisa jadi jasad yang terkubur di tanah tak bertuan, atau di tengah hutan tak berpenghuni. Kegelapan menyelinap dari balik rasa penasaran kita. Menikam dengan pisau yang tak sepenuhnya kita sadari. Mencekik tanpa iba sampai mati.
Di mana kisah ini sampai ke penghujung jalan. Kematian demi kematian datang menjemput, tak ada lagi waktu untuk berpaling.
This poem has not been translated into any other language yet.
I would like to translate this poem